Oleh: Keysha Alea
Dalam diskursus tentang emansipasi perempuan, keberadaan buruh perempuan sering dijadikan simbol keberdayaan ekonomi. Namun benarkah kehadiran mereka di sektor industri mencerminkan kemajuan gender? Atau justru ini menjadi bentuk baru eksploitasi yang dibungkus dalam narasi pemberdayaan? Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, jumlah angkatan kerja perempuan di Indonesia mencapai 55,23 juta orang. Lebih dari 38% di antaranya bekerja di sektor informal dan manufaktur dua sektor yang terkenal dengan jam kerja panjang, upah rendah, dan minim perlindungan sosial. Perempuan yang bekerja di sektor ini umumnya juga merupakan ibu rumah tangga sekaligus tulang punggung ekonomi keluarga. Sekilas, ini tampak sebagai keberhasilan dalam mendobrak batasan domestik. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan kompleksitas yang lebih dalam.
Buruh perempuan tidak hanya bekerja di luar rumah, mereka juga menyusun ulang ritme keluarga, mengorbankan waktu istirahat, bahkan menangguhkan kebutuhan personal demi keberlangsungan rumah tangga. Studi International Labour Organization (ILO) tahun 2022 mencatat bahwa perempuan di Indonesia, meskipun bekerja penuh waktu, tetap menghabiskan rata-rata 3,8 jam per hari untuk pekerjaan domestik, dibandingkan dengan 1,3 jam pada laki-laki. Ini menggambarkan situasi beban ganda yang tidak seimbang. Fenomena ini memunculkan pertanyaan penting, apakah keterlibatan perempuan dalam dunia kerja mencerminkan kebebasan, atau justru memperluas medan eksploitasi yang diinstitusikan oleh sistem ekonomi dan sosial yang masih patriarkal?
Data dari Komnas Perempuan menunjukkan adanya peningkatan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap perempuan pekerja selama pandemi. Hal ini mengindikasikan tekanan emosional yang berlipat, ketika perempuan dituntut untuk tetap produktif di ranah publik sambil memegang tanggung jawab penuh di ranah privat. Dalam kondisi ini, siapa yang sebenarnya diuntungkan dari konstruksi sosial yang menempatkan perempuan dalam dua medan perjuangan sekaligus?. Kesenjangan ekonomi juga masih nyata. Bank Dunia (World Bank) pada 2022 melaporkan bahwa buruh perempuan di Indonesia rata-rata hanya menerima 75% dari upah laki-laki dalam jenis pekerjaan yang sama. Sementara itu, fasilitas kerja yang mendukung perempuan, seperti tempat penitipan anak, cuti haid, dan kebijakan ramah ibu menyusui masih sangat terbatas dan sering diabaikan. Dalam banyak kasus, status buruh perempuan dimanfaatkan untuk menekan biaya produksi karena mereka dianggap lebih “murah” dan “patuh”.
Kontribusi ekonomi perempuan dalam keluarga juga sering tidak diimbangi dengan pengakuan sosial yang setara. Budaya patriarkal tetap menganggap pendapatan laki-laki sebagai “nafkah utama,” meskipun dalam kenyataan penghasilan perempuan sering kali lebih stabil dan konsisten. Artinya, struktur nilai dalam keluarga belum banyak berubah, meskipun pola kerja dan peran ekonomi perempuan telah mengalami transformasi. Namun demikian, dalam tekanan sistemik tersebut, muncul pula bentuk-bentuk resistensi. Banyak buruh perempuan yang membentuk solidaritas dan jaringan kolektif, serta mengambil peran kepemimpinan dalam serikat buruh. Ini menandakan adanya agen perubahan yang muncul dari kelompok paling terdampak. Meski begitu, perjuangan mereka kerap belum cukup menggeser struktur makro yang melanggengkan ketimpangan.
Tanpa dukungan kebijakan yang berpihak dan perubahan kultural yang menyeluruh, buruh perempuan akan terus berada di persimpangan antara idealisme kesetaraan dan realitas eksploitatif. Oleh karena itu, narasi pemberdayaan buruh perempuan seharusnya tidak berhenti pada penyertaan mereka dalam pasar kerja. Yang lebih mendesak adalah pengakuan terhadap pekerjaan domestik sebagai kerja produktif, redistribusi beban rumah tangga, upah yang adil, serta sistem perlindungan kerja yang inklusif terhadap kebutuhan dan hak perempuan. Model pembangunan yang diklaim pro-perempuan perlu ditinjau kembali secara kritis, terutama jika tidak menyentuh akar struktur patriarki dalam keluarga dan industri. Refleksi mendalam perlu dilakukan oleh semua pihak baik akademisi, aktivis, pengambil kebijakan, maupun masyarakat luas untuk memastikan bahwa suara dan kepentingan buruh perempuan benar-benar didengarkan dan diperjuangkan, bukan sekadar dijadikan objek diskusi atau laporan kebijakan yang steril dari realitas.
Sumber Gambar: Pinterest