Oleh: Farah Nur Aulia
Sudah 2025, tapi kita masih hidup dalam dunia yang percaya bahwa laki-laki tidak cocok mengajar anak-anak kecil. Dunia pendidikan, yang seharusnya menjadi ruang paling progresif dan terbuka terhadap keragaman, justru mempertahankan logika konservatif soal siapa yang “pantas” menjadi guru di jenjang sekolah dasar. Jika kamu laki-laki dan ingin menjadi guru SD, siap-siap menghadapi tatapan curiga, bisik-bisik meragukan, dan ekspektasi ganjil.
Mari kita mulai dari data. Di Inggris, hanya 14% guru di sekolah dasar adalah laki-laki (Department for Education, 2023). Artinya, dari setiap 100 guru SD, hanya 14 orang yang laki-laki. Di pendidikan usia dini, angka ini bahkan bisa lebih rendah lagi. Mengapa? Apakah laki-laki tidak kompeten? Tidak tertarik? Atau memang lingkungan profesi ini terlalu toksik bagi laki-laki?
Dalam artikel “Dialogic Identities of Male Primary Teachers in the UK” (Baroutsis & Scholes, 2025), ditunjukkan bagaimana guru laki-laki membentuk identitas profesional mereka di tengah tekanan stereotip gender. Mereka bukan hanya menghadapi ketimpangan angka, tapi juga asumsi sosial yang mengganggu. Seolah-olah menjadi guru SD itu bertentangan dengan kodrat laki-laki. Lembut? Dekat dengan anak-anak? Empatik? Waduh, maskulinitas macam apa itu?
Lebih parahnya, guru laki-laki sering kali dipaksa menjalani dua hal sekaligus: menjadi panutan maskulin dan sekaligus menjaga jarak agar tidak dicurigai. Ya, dicurigai. Dalam artikel tersebut, ada narasi berulang soal guru laki-laki yang harus ekstra hati-hati dalam interaksi fisik dengan murid. Pelukan bisa dianggap mencurigakan. Sentuhan bisa menjadi bahan gosip. Jadi mereka menjaga jarak bukan karena tidak peduli, tapi karena takut salah paham. Dan kita menyebut ini “kemajuan”?
Sikap masyarakat terhadap guru laki-laki mencerminkan bias gender yang masih sangat hidup. Ketika perempuan merawat, itu naluriah. Ketika laki-laki merawat, itu dipertanyakan. Akibatnya? Banyak laki-laki yang menghindari profesi ini. Bukan karena tidak ingin, tapi karena tidak ingin dianggap aneh. Ini adalah bagaimana sistem membungkam pilihan, tanpa harus mengeluarkan larangan eksplisit.
Menariknya, laki-laki yang bertahan dalam profesi ini sering kali didorong ke arah peran-peran hegemonik. Mereka dijadikan pelatih olahraga, pengatur disiplin, atau ditawari promosi lebih cepat ke posisi kepala sekolah. Padahal ironi besar sedang terjadi: meskipun mereka minoritas, laki-laki mendominasi jabatan kepala sekolah. Menurut data dari National Education Union, sekitar 38% kepala sekolah dasar di Inggris adalah laki-laki, angka yang jauh lebih tinggi dibanding representasi mereka sebagai guru kelas. Ini bukan kesetaraan, ini penempatan simbolik agar tetap sesuai naskah patriarki.
Lalu, jangan percaya mentah-mentah pada narasi “kita butuh laki-laki sebagai role model untuk anak laki-laki.” Ini terdengar progresif, tapi sebenarnya justru memperkuat pembagian gender. Mengapa anak laki-laki hanya bisa meneladani laki-laki? Mengapa kita tidak mempromosikan nilai-nilai seperti empati, keberanian, dan integritas sebagai nilai manusia, bukan nilai maskulin atau feminin?
Saya skeptis bahwa masyarakat benar-benar ingin guru laki-laki hadir demi keragaman. Yang mereka inginkan adalah guru laki-laki yang tetap maskulin, tidak terlalu lembut, tidak terlalu dekat dengan anak, tidak menyimpang dari norma. Kita tidak sedang mengundang keberagaman, kita sedang mengawasi penyimpangan.
Ini semua menunjukkan satu hal: dunia belum siap menerima bahwa laki-laki bisa menjadi perawat, pengasuh, pendidik bukan karena tidak mampu, tapi karena sistem belum rela melepaskan monopoli perempuan atas pekerjaan emosional. Tapi yang lebih menyedihkan: sistem ini juga menolak laki-laki yang ingin masuk ke dunia itu dengan niat tulus.
Jadi, apakah kita sungguh menginginkan perubahan? Atau kita hanya ingin dunia terlihat seimbang di atas kertas, tapi tetap dikendalikan oleh narasi gender yang kaku?
Selama laki-laki masih harus membuktikan bahwa mereka “boleh” dekat dengan anak-anak tanpa label predator, selama mereka masih harus memainkan peran-peran maskulin agar diterima di ruang kelas, maka tidak ada kemajuan sejati. Yang ada hanyalah sandiwara inklusi, yang tetap dikurasi oleh norma lama.
Sumber Gambar: Pinterest