Oleh: Satgas Fakultas Tim Kamu Aman 2024-2025
Kampus seharusnya menjadi ruang yang aman dan inklusif, tempat dimana setiap mahasiswa bisa belajar, berpikir kritis dan berkembang tanpa rasa takut akan gangguan apapun. Namun, realita yang terjadi adalah banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi. Kasus -kasus yang keji ini tak jarang ditutup – tutupi, dianggap aib, atau bahkan disangkal oleh institusi. Dalam situasi seperti ini, pertanyaan besar bagi kita semua adalah “Mengapa hal ini bisa terjadi?”. Sedangkan di lain sisi, korban kekerasan seksual seringkali merasa terjebak, tidak berdaya dan khawatir akan stigma sosial yang akan terjadi ketika mereka speak up. Ancaman dan serangan balik dari pelaku bisa saja terjadi sehingga menjadi faktor bagi korban untuk enggan melaporkan hal tersebut, ditambah jika pelaku tersebut memiliki posisi sosial yang tinggi.
Dilansir dari laman resmi Unair, Senin (5/5/2025) Prof Myrta menjelaskan bahwa kekerasan seksual sering kali terkait dengan penyalahgunaan kekuasaan dan posisi. Orang yang memiliki kedudukan tinggi secara otomatis memiliki daya tarik tertentu, yang membuat orang-orang di sekitarnya merasa kagum dan ingin belajar darinya. “Dengan sendirinya hal seperti ini ada. Itu natural di lingkungan kita. Nah ketika itu terjadi, apakah orang itu dapat menahan godaan atau lebih jauh lagi, justru malah menggunakan kesempatan untuk melakukan pelanggaran,” ungkapnya.
Selain itu, Prof Myrta menjelaskan bahwa kekerasan seksual melibatkan beberapa faktor, seperti kuatnya budaya patriarki, ketimpangan gender, lemahnya etika, serta pengawasan yang minim. Ia juga menyoroti bahwa pelaku sering kali mencari korban yang memiliki trauma masa lalu, sehingga lebih mudah dimanipulasi secara emosional. “Kasus-kasus yang sering mampir ke kami dan yang saya amati, biasanya para pelaku mencari korban yang mempunyai trauma masa lalu sehingga menjadikan mereka lebih mudah dimanipulasi secara emosional,” ujarnya.
Kekerasan seksual bukan hanya merusak individu saja, tetapi juga mengganggu suasana akademik yang kondusif dan merusak nilai – nilai etika serta moralitas yang seharusnya di junjung tinggi di lingkungan pendidikan.
Sebagai bagian dari lingkungan kampus, kita semua memiliki tanggung jawab atas hal ini. Mulai dari tidak membuat lelucon seksis, berani menegur perilaku yang melecehkan, hingga mendukung teman yang menjadi korban tanpa menghakimi.
Marilah kita ubah budaya diam menjadi budaya peduli. Jadilah pendengar yang berpihak dan mendukung, bukan menjadi penghakim. Karena kampus yang ideal bukan hanya tentang pencapaian akademik, tapi juga soal bagaimana kita menjaga martabat dan keselamatan satu sama lain.
“Karena diam adalah bagian dari kekerasan. Dan selama kita diam, pelaku merasa aman. Maka mari bersuara karena suara kita bisa menyelamatkan yang lain.”
https://analisis.republika.co.id/berita/susl2z393/kekerasan-seksual-di-kampus-realitas-yang-tersembunyi
https://www.kompas.com/edu/read/2025/05/05/074700871/pakar-ungkap-alasan-figur-panutan-sering-jadi-pelaku-kekerasan-seksual#google_vignette