Oleh: Satgas Universitas Tim Kamu Aman 2024-2025
Seringkali terdengar bahwa ayah merupakan tameng yang menjadi pelindung keluarga. Namun, bagaimana jika ternyata perlindungan itu tidak hanya persoalan fisik, melainkan juga tentang melindungi anak dari bias gender dan kekerasan sejak dini?
Tak sedikit kekerasan seksual dan bullying terjadi di lingkungan rumah, sekolah dan lingkungan lainnya dengan anak sebagai sasarannya. Sejak tanggal 1 Januari 2025 hingga 12 Maret 2025, data SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menunjukkan bahwa kekerasan terjadi sebanyak 4.821 kasus, dengan 80,4% korban kekerasan berjenis kelamin perempuan dan 62,6% korban berusia anak-anak. Data tersebut menunjukkan bahwa anak-anak bisa menjadi penyintas, namun seringkali tak terlihat. Hal ini bisa terjadi karena anak-anak sering kali tidak paham apa yang mereka alami-apakah itu adalah bentuk kekerasan atau tidak-atau mereka takut berbicara karena khawatir tidak dipercaya, disalahkan atau justru diancam. Ketika anak menjadi penyintas,mereka membutuhkan lingkungan yang aman dan orang dewasa yang tidak menghakimi, siap mendengar dan melindungi.
Peran ayah cukup penting dalam hal ini. Ayah yang terbuka, hangat dan tidak menghakimi bisa menjadi tempat aman pertama bagi anak untuk mengungkapkan perasaan dan pengalaman buruk yang dialaminya.
Namun sebaliknya, ayah yang otoriter atau menutup diri bisa membuat anak merasa semakin terisolasi, tertekan hingga kemungkinan terburuk. Selain itu sebagai pelindung, ayah dapat mendidik anak supaya peka terhadap kekerasan dengan memberikan pengetahuan mengenai hak tubuh, batas pribadi dan cara untuk berkata “tidak”. Ayah dapat berperan aktif dalam pendidikan seksual yang sehat dan terbuka dengan bahasa yang mereka pahami. Misalnya, ayah mengajarkan anak bahwa tidak semua sentuhan itu baik, mereka juga berhak untuk menolak sentuhan yang membuat mereka merasa tidak nyaman bahkan dari orang terdekat. Dengan pendekatan yang terbuka dan penuh empati, ayah bisa menjadi tempat anak bertanya mengenai hal-hal yang sulit atau membingungkan. Hal ini dapat menciptakan komunikasi dua arah yang sehat serta memperkuat kepercayaan anak pada orang tua.
Selain itu, anak-anak juga perlu untuk mengetahui dan belajar sejak dini bahwa apapun gendernya, semua orang itu setara-karena kesetaraan gender bukanlah isu orang dewasa saja-. Ayah yang memiliki keterlibatan aktif dalam mengasuh anak, mulai dari mengganti popok, membantu pekerjaan rumah hingga menyuapi anak, secara tidak langsung sudah memberi pesan kuat bahwa tugas rumah dan tanggung jawab anak bukan hanya miliki ibu. Sehingga, anak-anak dapat belajar mengenai kesetaraan gender dan menerapkannya, karena anak-anak merupakan peniru yang handal.
Anak-anak yang tumbuh di lingkungan keluarga yang menunjung tinggi nilai kesetaraan dan keadilan, cenderung memiliki kepercayaan diri yang lebih tinggi, mereka mampu membela diri serta menghargai orang lain. Kecil kemungkinan mereka untuk menjadi pelaku kekerasan maupun penyintas. Justru bisa saja mereka menjadi bagian dari solusi untuk menciptakan masyarakat yang lebih aman dan adil.
Kesetaraan dan perlindungan bukan hanya tugas seorang wanita sebagai ibu, namun laki-laki sebagai ayah juga memiliki ruang an tanggung jawab yang besar dalam membentuk anak yang tangguh dan bebas dari kekerasan. Dengan hadirnya sosok ayah secara “penuh”, anak dapat merasa aman dan belajar bahwa dunia ini bisa menjadi tempat yang adil, aman dan setara untuk semua.
Referensi:
https://berkas.dpr.go.id/pusaka/files/isu_sepekan/Isu%20Sepekan—II-PUSLIT-Maret-2025-2490.pdf
Jogo Konco, Ruang Aman bagi Anak Penyintas Kekerasan Seksual untuk Melapor
https://www.cipatujah-tasikmalaya.desa.id/fatherless-dan-peran-gender-membangun-kesetaraan-gender-dalam-keluarga/
Sumber Gambar: Pinterest