Oleh: Asyifa Rahmani A
“Cowok ga boleh nangis”, “Nangis itu tandanya lemah”, “Cowok harus kuat, ga boleh cengeng”, seringkali kita mendengar kata-kata itu dalam percakapan sehari-hari atau bahkan dalam banyak nasihat yang diberikan orang lain. Kalimat ini terdengar sepele, bahkan dianggap sebagai “motivasi”. Namun di balik itu, terdapat tekanan sosial besar yang sejak lama membatasi laki-laki untuk mengekspresikan perasaaannya. Seolah-olah air mata adalah simbol kelemahan yang tidak pantas bagi mereka. Padahal, menangis adalah ekspresi yang manusiawi, tidak peduli apakah seseorang tersebut laki-laki atau perempuan.
Berdasarkan penelitian Ismiati (2018), laki-laki seringkali dihubungkan dengan kuat, tegas, penuh tanggung jawab, tidak sabar, egois dan sebagainya; emosional, manja, cengeng, tidak tegas, dan kebergantungan (tidak mandiri). Stereotip ini sangatlah sempit dan menyesatkan. Ketika laki-laki dipaksa untuk selalu “tangguh”, mereka kehilangan ruang untuk menunjukkan sisi rentan mereka — padahal sisi itu sama pentingnya untuk pertumbuhan psikologis yang sehat. Di sinilah pentingnya edukasi terkait kesetaraan gender.
Kesetaraan gender dalam hal ini bukan tentang menyamakan semua perilaku antara laki-laki dan perempuan secara sempit, melainkan memberikan kesempatan yang setara untuk menjadi manusia secara utuh. Artinya, laki-laki juga berhak untuk mengekspresikan emosi secara bebas, tanpa harus takut dipandang rendah atau lemah. Mereka juga berhak menunjukkan sisi rapuhnya, merasa takut, kecewa, atau bahkan menangis. Kesetaraan berarti menghapus batasan-batasan sosial yang membatasi ekspresi diri hanya karena konteks gender yang diwariskan dari masa lalu.
Dewasa ini, pemikiran masyarakat turut berkembang seiring kemajuan zaman. Semakin banyak orang yang menyadari pentingnya kesetaraan gender dan kesehatan mental. Tidak hanya remaja, tetapi juga orang dewasa dan lansia. Maka dari itu, pola pikir seperti “cowok ga boleh nangis” haruslah diubah. Menangis bukan tanda kelemahan, melainkan keberanian untuk jujur pada diri sendiri. Beberapa studi, seperti yang dikutip di atas, menunjukkan bahwa ekspresi emosi yang sehat — termasuk menangis — dapat membantu meringankan tekanan psikologis dan membangun hubungan interpersonal yang lebih kuat. Ketika laki-laki diberikan ruang untuk mengekspresikan perasaan tanpa adanya penilaian negatif, mereka akan lebih mudah untuk mencari bantuan, membangun empati, dan memperkuat kesehatan mental mereka.
Perubahan-perubahan ini harus dimulai dari pendidikan, baik formal maupun informal. Sekolah perlu menyediakan lingkungan yang mendukung perkembangan emosional semua siswa, termasuk laki-laki. Di rumah, orang tua perlu berhenti membedakan cara memperlakukan emosi anak berdasarkan gender. Alih-alih mengatakan, “jangan nangis, kamu kan cowok”, lebih baik mengatakan, “gak apa-apa merasa sedih, mau cerita apa yang kamu rasakan?”. Media sosial, film, dan tayangan TV juga mempunyai andil. Terlalu sering laki-laki digambarkan sebagai sosok dingin, kuat, dan tidak emosional — sedangkan yang menangis atau terbuka dianggap lemah atau tidak maskulin. Representasi ini perlu diubah. Butuh lebih banyak figur publik laki-laki yang secara terbuka membicarakan kesehatan mental, emosi, dan air mata — tidak untuk dikasihani, tetapi untuk memberi contoh bahwa semua manusia boleh menangis.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita menormalisasi kalimat sederhana namun penuh makna ini: Cowok juga boleh nangis. Tidak ada yang salah dengan air mata. Yang salah adalah ketika kita membiarkan norma sosial yang usang merampas hak laki-laki untuk mengekspresikan emosinya dan menyembuhkan dirinya sendiri.
Sumber Literatur:
https://kumparan.com/nabila-zuhra-1709228821206744579/toxic-masculinity-laki-laki-tidak-boleh-menangis-22GHlYSazwO/1
https://www.halodoc.com/artikel/jangan-ditahan-menangis-ternyata-ada-manfaatnya?srsltid=AfmBOoqVSEn7BT5TVl8Dsz8el73GmqT1mgobkLA3eYd77BG1q5VlRHpj
https://www.alodokter.com/jangan-anggap-sepele-ini-bahaya-memendam-emosi#:~:text=Emosi%20yang%20dipendam%20terus%2Dmenerus,%2C%20muntah%2C%20hingga%20kesulitan%20bernapas.
Ismiati. (2018). Pengaruh Stereotype Gender Terhadap Konsep Diri Perempuan. TAKAMMUL: Jurnal Studi Gender Dan Islam Serta Perlindungan Anak, 7(1), 33–45.