Minggu, 20 Juli 2025
  • Login
Pusat Studi Gender dan Anak
  • Beranda
  • Berita
  • Tajuk Rencana
  • Opini
    • Opini Perempuan
    • Opini Lelaki
    • Opini Anak
    • Opini Umum
  • Suara
  • Acara
    • Acara Kajian
    • Acara Seminar
    • Acara Konferensi
    • Acara Lokakarya
  • Produk
    • Jurnal
    • Buku
  • Pustaka
    • Peraturan Perundang-Undangan
    • MoA dan MoU
  • Tentang Kami
    • Visi-Misi
    • Dewan Pakar
    • Pengurus
    • Kontak
    • Pusat Pengaduan
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Berita
  • Tajuk Rencana
  • Opini
    • Opini Perempuan
    • Opini Lelaki
    • Opini Anak
    • Opini Umum
  • Suara
  • Acara
    • Acara Kajian
    • Acara Seminar
    • Acara Konferensi
    • Acara Lokakarya
  • Produk
    • Jurnal
    • Buku
  • Pustaka
    • Peraturan Perundang-Undangan
    • MoA dan MoU
  • Tentang Kami
    • Visi-Misi
    • Dewan Pakar
    • Pengurus
    • Kontak
    • Pusat Pengaduan
No Result
View All Result
PSGA
No Result
View All Result
Home Tajuk Rencana
Kekerasan Siber Berbasis Gender: Dari Body Shaming hingga Doxxing Aktivis Perempuan

Kekerasan Siber Berbasis Gender: Dari Body Shaming hingga Doxxing Aktivis Perempuan

by Keysha Alea
27/05/2025
in Tajuk Rencana
0
0

Oleh: Dhafa Afriandito

Di era digital, perempuan bukan hanya menghadapi diskriminasi dan kekerasan di ruang fisik, tetapi juga dalam ruang maya yang seharusnya demokratis dan terbuka. Kekerasan siber berbasis gender (gender-based cyber violence) adalah bentuk kekerasan yang menggunakan teknologi digital untuk melukai, mengintimidasi, atau melecehkan seseorang berdasarkan gendernya. Salah satu kelompok yang paling terdampak adalah perempuan, terutama yang bersuara lantang di ruang publik seperti aktivis, jurnalis, dan pembela hak asasi manusia.

Anda Mungkin Juga Suka

Negara Memotong Anggaran, Siapa yang Melindungi Perempuan dan Anak dari Kekerasan?

Negara Memotong Anggaran, Siapa yang Melindungi Perempuan dan Anak dari Kekerasan?

15/05/2025
62
AYAH HEBAT, ANAK KUAT!!

AYAH HEBAT, ANAK KUAT!!

15/05/2025
29

Body shaming dan doxxing menjadi dua bentuk kekerasan siber yang paling umum dan merusak. Body shaming, yakni merendahkan atau mempermalukan seseorang berdasarkan bentuk tubuhnya, telah menjadi alat untuk membungkam perempuan dan memperkuat standar kecantikan patriarkis. Doxxing, yaitu menyebarkan informasi pribadi secara daring tanpa izin, sering kali ditujukan kepada aktivis perempuan sebagai bentuk teror digital yang nyata. Kedua praktik ini tidak hanya berdampak pada kesehatan mental, tetapi juga membatasi partisipasi perempuan dalam ruang digital dan publik.

Kekerasan siber berbasis gender tidak bisa dipisahkan dari struktur sosial patriarkal yang telah lama meminggirkan perempuan. Internet, meskipun netral secara teknologi, mencerminkan dinamika kekuasaan yang ada di masyarakat. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan secara signifikan lebih sering menjadi target kekerasan daring dibanding laki-laki, terutama jika mereka menyuarakan isu-isu gender atau hak-hak perempuan. Salah satu studi menemukan bahwa perempuan yang aktif di media sosial, khususnya mereka yang menyuarakan feminisme atau keadilan gender, menerima lebih banyak pelecehan verbal, ancaman, serta doxxing dibandingkan laki-laki (Henry et al., 2020). Hal ini mengindikasikan bahwa kekerasan siber merupakan cara baru bagi struktur patriarki untuk mempertahankan dominasi dan membungkam perempuan yang melawan.

Body shaming, dalam konteks ini, menjadi salah satu alat penyerangan yang berbasis pada konstruksi sosial tentang tubuh perempuan. Dalam masyarakat yang mengagungkan kecantikan sebagai nilai utama perempuan, kritik terhadap tubuh menjadi senjata ampuh untuk menjatuhkan harga diri dan kredibilitas perempuan di ruang publik. Praktik ini tidak hanya terjadi antar individu, tetapi juga sering kali disebarluaskan secara massal, memperkuat trauma dan rasa malu yang dialami korban.
Doxxing, di sisi lain, menjadi taktik intimidasi yang sangat berbahaya karena menempatkan korban dalam risiko nyata. Penyebaran data pribadi seperti alamat rumah, nomor telepon, atau informasi keluarga membuat korban merasa tidak aman, bahkan di rumah mereka sendiri. Ini bukan sekadar pelecehan daring, tetapi bentuk kekerasan yang memiliki implikasi fisik, psikologis, dan profesional.

Aktivis perempuan menjadi target utama karena mereka secara langsung menantang struktur patriarki dan berbicara tentang ketidakadilan yang selama ini disenyapkan. Ketika mereka mengangkat isu kekerasan seksual, kesetaraan upah, atau hak atas tubuh, respons balik yang mereka terima sering kali berupa serangan pribadi yang brutal. Dalam hal ini, ruang digital yang seharusnya menjadi tempat ekspresi dan solidaritas berubah menjadi medan tempur yang berbahaya.
Menurut studi oleh Powell & Henry (2021), perempuan aktivis sering mengalami serangan digital secara berulang, sistematis, dan dalam skala besar, yang bukan hanya ditujukan untuk membungkam mereka secara individu, tetapi juga sebagai peringatan bagi perempuan lain untuk tidak “berani bersuara” (Powell & Henry, 2021). Fenomena ini dikenal sebagai efek membungkam (silencing effect), dan secara signifikan menghambat keterlibatan perempuan dalam wacana sosial-politik.

Penting untuk memahami bahwa kekerasan siber berbasis gender bukan sekadar masalah individu, melainkan masalah struktural yang membutuhkan pendekatan sistemik. Pertama, platform media sosial harus mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam menangani laporan kekerasan gender. Deteksi otomatis terhadap ujaran kebencian, moderasi yang responsif, serta perlindungan terhadap data pribadi adalah langkah-langkah yang mendesak. Kedua, edukasi digital yang sensitif gender harus diberikan kepada semua kalangan, agar masyarakat memahami bahwa dunia maya bukan ruang tanpa hukum atau etika. Perempuan, terutama remaja dan anak muda, perlu dibekali keterampilan digital yang memungkinkan mereka melindungi diri dan membentuk komunitas yang saling mendukung.
Terakhir, undang-undang yang mengatur kekerasan berbasis gender dalam ranah digital harus diperkuat. Di banyak negara, termasuk Indonesia, masih ada kekosongan hukum terkait perlindungan korban kekerasan digital. Legislasi yang jelas dan berpihak pada korban akan memberikan jaminan hukum yang selama ini belum mereka dapatkan.

Kekerasan siber berbasis gender adalah bentuk baru dari penindasan patriarkal yang meresap ke dalam ruang digital. Body shaming dan doxxing bukan hanya tindakan merugikan secara individual, tetapi juga bentuk pembungkaman kolektif terhadap suara perempuan. Untuk membangun masyarakat digital yang adil dan setara, kita perlu melihat kekerasan ini sebagai ancaman terhadap hak asasi manusia dan demokrasi itu sendiri.

Referensi Jurnal:
(Henry et al., 2020) – Studi ini mengkaji bentuk kekerasan digital yang dialami perempuan dalam konteks kekerasan domestik dan kontrol berbasis teknologi.
(Powell & Henry, 2021) – Penelitian ini menjelaskan tentang bagaimana teknologi digunakan untuk meneruskan bentuk kekerasan berbasis gender, termasuk doxxing dan ancaman daring.

Sumber Gambar:Pinterest

Tags: #psgauinmalangbodyshamingdoxxingPSGAtoxiccyber

Pos Lainnya

Negara Memotong Anggaran, Siapa yang Melindungi Perempuan dan Anak dari Kekerasan?
Tajuk Rencana

Negara Memotong Anggaran, Siapa yang Melindungi Perempuan dan Anak dari Kekerasan?

15/05/2025
62
AYAH HEBAT, ANAK KUAT!!
Tajuk Rencana

AYAH HEBAT, ANAK KUAT!!

15/05/2025
29
Kata Siapa Cowok Ga Boleh Nangis?
Opini

Kata Siapa Cowok Ga Boleh Nangis?

06/05/2025
71
Indonesia Darurat Predator Seksual: Ancaman Kekerasan Seksual Tak Pandang Bulu
Tajuk Rencana

Indonesia Darurat Predator Seksual: Ancaman Kekerasan Seksual Tak Pandang Bulu

29/04/2025
338
No Result
View All Result

Recent Posts

  • Fatherless and Tangerines: Manisnya Kehadiran yang Tak Pernah Ada
  • Kekerasan Siber Berbasis Gender: Dari Body Shaming hingga Doxxing Aktivis Perempuan
  • Buruh Perempuan dan Beban Ganda: Antara Emansipasi dan Eksploitasi yang Diinstitusikan
  • Guru Laki-Laki di Sekolah Dasar: Maskulinitas yang Dicurigai, Feminitas yang Dimonopoli
  • Hari Buruh: Refleksi Martabat Pekerja, Kesetaraan Gender, dan Masa Depan Anak

Recent Comments

  1. Keysha Alea mengenai ELIMINATE SEXUAL HARRASMENT (E-SEXMENT): PEMANFAATAN ALARM SMARTWATCH DALAM MENCEGAH PELECEHAN SEKSUAL MENUJU INDONESIA EMAS 2045
Email: psga@uin-malang.ac.id

© 2023 PSGA - Pusat Studi Gender dan Anak - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Berita
  • Tajuk Rencana
  • Opini
    • Opini Umum
    • Opini Perempuan
    • Opini Lelaki
    • Opini Anak
  • Acara Kajian
  • Suara

© 2023 PSGA - Pusat Studi Gender dan Anak - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In