Baru-baru ini, saya mengikuti seminar virtual tentang gender yang menggugah pikiran. Salah satu pertanyaan peserta benar-benar membuat saya terdiam. Peserta tersebut berbagi pengalaman bahwa banyak temannya yang, setelah mencapai usia yang cukup matang untuk menikah, ternyata kesulitan dalam memainkan peran sebagai seorang istri. Pertanyaannya mencuatkan ingatan saya akan wawancara dengan para informan penelitian saya, yang mengungkapkan betapa “shock”nya mereka saat memasuki jenjang pernikahan, terutama setelah menjadi seorang ibu.
Rata-rata perempuan setelah menikah menghadapi tuntutan hidup yang sangat berbeda dibandingkan dengan masa lajang. Beberapa di antaranya bahkan mengaku tidak pernah menyadari betapa rumitnya urusan sehari-hari. Sebuah perempuan menuturkan, “Saya tak pernah menyadari bahwa makan harus tiga kali sehari. Ketika anak saya masih kecil, saya sering kaget merasa baru saja selesai menyiapkan makan pagi, sudah harus memikirkan makan siang. Ternyata jarak antara makan pagi dan makan siang sangat sedikit, sehingga saya sebagai perempuan harus terus-menerus menyiapkan makan lagi dan lagi.”
Namun, urusan makan hanyalah satu dari sekian banyak kewajiban yang harus dihadapi perempuan setelah menikah. Dalam sebuah tulisan pada tahun 2010 tentang pembagian kerja rumah tangga dalam Islam, saya mencatat setidaknya lima tugas utama yang diemban oleh perempuan. Pertama, masak atau menyiapkan makan; kedua, membersihkan rumah, yang melibatkan menyapu, mengepel, mengelap; ketiga, membersihkan pakaian, yang mencakup mencuci, menjemur, menyetrika, dan menata di tempatnya; keempat, merawat anak mulai dari memandikan, menyuapi, mengajari ilmu akhlak, hingga ketrampilan hidup; dan kelima, melayani suami, yang tidak hanya berhenti di tempat tidur tetapi melibatkan banyak aspek kehidupan.
Penting untuk memahami bahwa peran dan kewajiban ini bukan sekadar norma-norma tertentu yang diimpor dari luar, melainkan sering kali menjadi bagian integral dari kehidupan seorang perempuan setelah menikah. Namun, apa yang sering tidak disadari adalah betapa kompleksnya dinamika ini dan bagaimana perempuan harus terus beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi setelah pernikahan.
Dalam banyak kasus, perempuan tidak hanya harus mengatasi pergeseran tugas-tugas domestik, tetapi juga menanggung beban ekspektasi sosial yang tinggi. Ada harapan untuk menjadi ibu yang sempurna, istri yang penuh perhatian, sambil menjaga kecantikan dan karier. Dalam budaya yang seringkali mengukur nilai seorang perempuan dari sejauh mana dia memenuhi ekspektasi sosial tersebut, tekanan tersebut bisa menjadi beban yang sangat berat.
Menjadi seorang ibu, misalnya, tidak hanya sebatas mengandung dan melahirkan. Itu melibatkan proses panjang merawat anak, mendidik mereka, dan mengajarkan nilai-nilai hidup. Banyak perempuan mengaku bahwa mereka tidak siap untuk betapa intensnya perasaan kasih sayang dan tanggung jawab yang datang bersamaan dengan peran tersebut. Sebagian dari mereka bahkan merasa “shock” dengan perubahan mendalam dalam gaya hidup mereka yang sebelumnya lebih bebas.
Saat kita membahas realitas ini, penting untuk tidak melewatkan aspek budaya dan agama yang turut memainkan peran besar dalam menentukan harapan-harapan ini. Misalnya, dalam budaya atau tradisi tertentu, ekspektasi terhadap perempuan untuk menjadi “pilar keluarga” bisa sangat kuat. Ini bisa menciptakan tekanan tambahan bagi perempuan yang mencoba menjalankan peran-peran tersebut sambil tetap mempertahankan identitas dan kebebasan pribadi mereka.
Penting untuk diingat bahwa perubahan sosial yang positif tidak hanya tergantung pada perempuan itu sendiri. Dukungan dari pasangan, keluarga, dan masyarakat lebih luas sangat krusial. Sosialisasi yang mendukung peran-peran baru perempuan, pembagian tanggung jawab yang adil antara suami dan istri, serta pengakuan terhadap kontribusi perempuan di berbagai bidang kehidupan adalah langkah-langkah penting menuju masyarakat yang lebih inklusif dan adil.
Sebagai kesimpulan, “the shocking shift” dari perempuan lajang ke menikah menggambarkan sebuah realitas yang seringkali diabaikan. Perempuan tidak hanya menghadapi perubahan tugas-tugas praktis, tetapi juga menghadapi dinamika kompleks dari ekspektasi sosial dan perubahan peran yang mendalam. Untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik, kita perlu memahami dan menghormati keragaman pengalaman perempuan setelah menikah, sambil berusaha menciptakan lingkungan yang mendukung dan menghargai kontribusi mereka.