Pendahuluan
Indonesia, dengan kekayaan budaya dan sejarah yang mendalam, hari ini kita sedang memperingati Hari Sumpah Pemuda yang ke-95. Peringatan ini harus menjadi momen refleksi, bukan hanya untuk mengenang semangat persatuan yang dulu kita nyatakan, tetapi juga untuk menilai realitas saat ini, terutama terkait masalah ketimpangan gender yang masih menghantui bangsa kita. Baik dalam konteks perkawinan anak, hak kesehatan reproduksi, atau praktik mutilasi genital perempuan, kita dihadapkan pada pertanyaan besar: Apakah kita benar-benar telah memenuhi janji kesetaraan yang tercantum dalam Sumpah Pemuda?
Perkawinan Anak
Kita dihadapkan dengan kenyataan yang pahit bahwa Indonesia, sebagai negara berdaulat, masih terbelenggu oleh praktik-praktik tradisional yang merugikan, salah satunya adalah perkawinan anak. Meskipun telah ada kemajuan dalam beberapa tahun terakhir, angka perkawinan anak, terutama di kalangan perempuan, masih mengkhawatirkan.
Sebagai contoh, di Blitar, terdapat 70 pasangan anak yang mencari dispensasi perkawinan dini karena hamil di luar nikah. Di Sulawesi Barat, ada 1.347 kasus perkawinan anak yang dilaporkan pada Mei 2023. Angka-angka ini bukan hanya statistik, tetapi juga cerminan dari ketimpangan gender yang mendalam dan sistem patriarki yang masih kuat berakar dalam masyarakat kita.
Perkawinan anak tidak hanya mengancam masa depan anak-anak tersebut, tetapi juga mengancam kesejahteraan bangsa. Risiko stunting, kematian ibu dan bayi, serta potensi kekerasan dalam rumah tangga meningkat dengan adanya perkawinan dini. Selain itu, peluang pendidikan bagi anak-anak yang menikah dini menjadi terbatas, menghambat kontribusi potensial mereka dalam pembangunan nasional.
Dalam konteks Sumpah Pemuda, kita diingatkan tentang semangat persatuan dan kesetaraan. Namun, bagaimana kita bisa bersatu jika sebagian dari masyarakat kita, yaitu perempuan, masih dianggap sebagai individu yang lebih rendah? Bagaimana kita bisa berbicara tentang kemajuan ketika praktik-praktik kuno seperti perkawinan anak masih bertahan?
Sebagai bangsa, kita harus kritis dan prihatin. Kita harus memastikan bahwa setiap anak, terutama perempuan, mendapatkan hak-hak mereka sepenuhnya. Kita harus menjamin mereka mendapatkan pendidikan yang layak, peluang yang setara, dan masa depan yang cerah. Kita harus memastikan bahwa mereka tidak menjadi korban dari tradisi dan budaya yang merugikan.
Hak Kesehatan Reproduksi
Kita menghadapi kenyataan bahwa ketimpangan gender masih menjadi masalah mendalam di Indonesia, terutama dalam konteks hak kesehatan reproduksi. Meskipun telah ada upaya dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, untuk meningkatkan pemahaman dan akses terhadap hak kesehatan reproduksi, banyak perempuan masih menghadapi hambatan dalam mengakses layanan kesehatan reproduksi.
Pada Mei 2023, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menekankan pentingnya hak kesehatan reproduksi, terutama dalam konteks pertumbuhan fisik, kepribadian, dan kemandirian anak. Hal ini menunjukkan urgensi dari masalah ini, terutama bagi generasi muda. Namun, apakah kita sebagai bangsa sudah memberikan hak-hak tersebut secara merata kepada semua lapisan masyarakat, khususnya perempuan?
Pada September 2023, Kementerian Kesehatan menegaskan bahwa Undang-undang Kesehatan menjamin pemenuhan hak kesehatan reproduksi untuk membentuk generasi yang sehat dan berkualitas. Namun, realitas di lapangan seringkali berbeda dari apa yang diatur dalam undang-undang. Banyak perempuan yang masih menghadapi kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan reproduksi.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, pada Juli 2023, mengapresiasi ketentuan dalam Omnibus Law UU Kesehatan yang menjamin dan menegaskan hak kesehatan reproduksi. Namun, apresiasi ini harus diikuti dengan tindakan konkret untuk memastikan bahwa hak-hak tersebut benar-benar terpenuhi.
Ketika kita berbicara tentang Sumpah Pemuda, kita berbicara tentang semangat persatuan dan kesetaraan. Namun, ironisnya, dalam konteks hak kesehatan reproduksi, kesetaraan gender masih jauh dari harapan. Sebagai bangsa yang memperingati Sumpah Pemuda ke-95, sudah seharusnya kita melakukan refleksi mendalam.
Praktik Mutilasi Genital Perempuan
Kita diingatkan tentang semangat persatuan dan kesetaraan. Namun, di balik semangat tersebut, masih ada bayang-bayang ketimpangan gender yang menghantui Indonesia, salah satunya adalah praktik Mutilasi Genital Perempuan (FGM/C). Meskipun ilegal, praktik ini masih terjadi di beberapa komunitas.
Menurut laporan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, pemotongan atau mutilasi genital perempuan telah menjadi kenyataan yang tak terhindarkan bagi perempuan dan gadis di Indonesia. Ini menunjukkan betapa dalamnya akar praktik ini dalam budaya kita. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga menekankan pentingnya kerja sama lintas sektor untuk mencegah praktik ini. Ini menunjukkan bahwa upaya pencegahan memerlukan kerjasama dari semua pihak, bukan hanya tanggung jawab pemerintah.
FGM/C bukan hanya sekedar tradisi, tetapi juga refleksi dari dominasi patriarki terhadap tubuh perempuan. Praktik ini mencerminkan bagaimana masyarakat memandang perempuan sebagai objek yang harus dikendalikan, bukan sebagai individu yang memiliki hak atas tubuh mereka sendiri.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan juga telah mengeluarkan publikasi mengenai upaya pencegahan dan penghapusan pemotongan genital perempuan. Ini menunjukkan bahwa ada upaya konkret yang sedang dilakukan, namun tentunya masih memerlukan dukungan dari masyarakat luas.
Kritik ini tidak hanya ditujukan kepada mereka yang masih melakukan praktik ini, tetapi juga kepada pemerintah dan kita semua sebagai warga negara. Apa yang telah kita lakukan untuk menghentikan praktik ini? Apakah kita sudah memberikan edukasi yang cukup kepada masyarakat? Apakah pemerintah sudah mengambil tindakan tegas terhadap pelaku?
Keprihatinan ini harus menjadi momentum bagi kita untuk bertindak. Hanya memberikan kritik tidak cukup; kita juga harus memberikan solusi. Pendidikan seksual yang benar, pemberdayaan perempuan, dan penegakan hukum yang tegas adalah beberapa langkah yang bisa kita ambil.
Sebagai generasi penerus bangsa, kita memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa semua warga, tanpa terkecuali, merasakan kesetaraan. Mari kita bersatu untuk menghapus praktik FGM/C dan semua bentuk ketimpangan gender lainnya di Indonesia.
Penutup
Sebagai negara berdaulat dengan sejarah perjuangan yang panjang, kita tidak boleh melupakan komitmen kita terhadap kesetaraan dan keadilan. Peringatan Sumpah Pemuda ke-95 harus menjadi momentum bagi kita untuk membangun kesadaran, memperkuat pendidikan, dan mengambil tindakan nyata guna menghapus semua bentuk ketimpangan dan diskriminasi. Hanya dengan begitu kita bisa benar-benar menghargai semangat Sumpah Pemuda dan menjadikannya lebih dari sekadar perayaan tahunan, tetapi sebagai pijakan nyata dalam membangun Indonesia yang lebih adil dan setara bagi semua warganya.
*) Foto: Hasmin Ladiga/Kendariinfo.com (26/10/2023).